05 April 2007

Hari ini Pemred Playboy divonis




HUKUM-KRIMINAL

Jakarta (Lampost Online) - Nasib Pemred majalah Playboy, Erwin Arnada, akan segera ditentukan. Bebas atau menjadi penghuni hotel prodeo, tergantung dari keputusan hakim.

"Rencananya sidang akan dimulai pukul 10.00 WIB," ujar kuasa hukum Erwin, Ina H Rahman, saat dihubungi detikcom, Kamis (5/4/2007) pukul 08.00 WIB.

Sidang pembacaan vonis akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya. Bertindak sebagai ketua majelis hakim dalam kasus itu adalah Efran Basuning.

"Nanti usai sidang juga akan dilakukan konferensi pers di Hotel Grand Kemang, tapi silakan nanti konfirmasi ke Pak Erwin saja," imbuh Ina.

Beberapa waktu yang lalu, Erwin dituntut oleh jaksa penutut umum dengan pidana penjara 2 tahun. Tuntutan itu mengundang protes sebagian pengunjung sidang yang berasal dari berbagai ormas Islam. Mereka menilai tuntutan itu terlalu ringan.

Dalam dakwaan subsider, Erwin didakwa pasal 282 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Dan dakwaan lebih subsider diancam pasal 282 ayat 2 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Selaku editor in chief (pemred) dan juga Direktur Operasional PT Velvet Silver Media, Erwin bertanggung jawab penuh atas penerbitan Playboy Indonesia edisi April hingga Juli 2006.

Hukuman maksimal pelanggaran pasal 282 ayat 1 KUHP tentang kesopanan dan kesusilaan adalah penjara 2 tahun 8 bulan. (nvt/nrl)

Lampung Post - Kamis, 5 April 2007

http://www.lampungpost.com/aktual/berita.php?id=1715

_________________________________

Indonesia braces for "Playboy" verdict

Jakarta (ANTARA News) - Hundreds of police with water cannon were deployed Thursday as an Indonesia court prepared to rule whether the editor of the local version of Playboy was guilty of publishing indecent material.

About 100 militant Muslims were on hand for the verdict, shouting "God is great!" and vowing "judgement our way" if Erwin Arnada was acquitted.

Prosecutors have called for Arnada, 42, to be jailed for two years in a case seen as pitting press freedom against conservative Islamic mores in the world's most populous Muslim-majority nation.

Heru Hendratmoko, the chairman of the Alliance of Independent Journalists, said he hoped Arnada would be let go in the interest of press freedom.

"I am fairly optimistic," he said, adding that the editor should not have been subjected to a criminal trial.

But the hardline Islamic Defenders Front (FPI) warned it would "declare war" against the adult magazine, which is still being published in Indonesia, if the court in Jakarta failed to jail Arnada.

"We will attack the Playboy office and sweep up copies of the magazine, which will destroy the morals of Indonesian children," Irwan Asidi, one of the Front's leaders, told AFP.

Ahead of the verdict he had said about 1,000 like-minded Muslims would be mobilised to the court for the verdict, but late Thursday morning only about 100 were present.

About 20 FPI members were inside the courtroom itself as a panel of judges began reading the verdict.

"Playboy destroyed the mentality of the Indonesian generation. We have to fight against them. Islam not only protects Muslim followers but also non-Muslim," FPI member Abdul Khodir said.

"We are going to do judgement our way," if the editor is acquitted, said Muhammad al Khaththath, the secretary general of Forum Umat Islam, an umbrella group containing FPI and other hardline organisations.

Local police chief Donny Sabardi said 665 police officers had been mobilised, including members of a paramilitary brigade who arrived with water cannon.

Arnada's lawyer Ina Rachman said she hoped the court would rule objectively despite the protests.

"I hope the judges will take a decision independently and free from third-party influences. We all know that the FPI has threatened all parties, including the judges and myself," she told AFP.

Prosecutors said Arnada had upset society and damaged Indonesia's morals.

The charge of publishing indecent material carries a jail term of up to 32 months.

Arnada has argued that Playboy Indonesia does not publish photographs of naked women or do anything illegal. (*)


http://www.antara.co.id/en/arc/2007/4/5/indonesia-braces-for-playboy-verdict/

Antara - 04/05/07 11:57

_________________________________

KOMENTAR USIL

Sunny Ambon
E-mail: ambon@tele2.se


Sesuai sumber berita tidak resmi tetapi bisa dipercaya, dikabarkan bahwa mulai bulan depan para petinggi negara yang bertugas di luarnegeri atau yang bepergian ke luarnegeri akan diwajibkan memakai kacamata hightech istimewa buatan IUM & Co. Tujuannya untuk memfilter gambar-gambar atau tulisan yang tidak senonoh dengan undang-undang kesucian negara.

Jangan bikin petisi anti FPI!


sohib-sohib ana lagi berjuang menegakkan Syariat Islam


Assalamu'alaikum wr wb,

Ana sungguh heran bin takjub. Kenapa banyak kaum durhaka dan kafir tidak menyukai FPI? Padahal FPI adalah tameng bagi perjuangan Islam untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam berjuang mereka begitu tegas tak pandang bulu. Penampilan mereka begitu bersahaja dan santun dengan busana seperti dikenakan oleh para sahabat Rasulullah.


Dipimpin oleh Habib Riziek yang ana cintai sepanjang hayat masih dikandung badan, tujuan utama FPI adalah ingin menyadarkan umat manusia untuk kembali ke jalan Allah dan tidak melanggar aturan dan norma-norma Islam seperti diajarkan oleh Rasulullah.

Untuk itu, dengan tegas ana menolak keberadaan petisi ini:



http://www.petitiononline.com/noFPI/petition.html

Siapa yang berani-beraninya mengisi petisi tersebut di atas, sudah dijanjikan oleh Allah untuk masuk Neraka Jahanam!

Mari kita bersama-sama rapatkan barisan....


Wassalamu'alaikum wr wb,


INDONEBIA
ana doyan petis tapi tidak suka petisi

FPI anti komunis!


palu arit, lambang komunis

Alfian Tanjung: "Ngaku Sajalah Komunis!"

Kamis, 05 April 2007


Ketua GN Patriot Indonesia, Alfian Tanjung meminta Dita Indah Sari mengaku jujur perihal organisasinya yang berbau “komunis”. Indah tetap menepis

Hidayatullah.com — “Ayo, ngaku sajalah komunis,” demikian pinta Alfian Tanjung saat berdebat dengan Ketua Majelis Pertimbangan Papernas Dita Indah Sari dalam sebuah debat politik yang diselenggarakan stasiun TV SCTV Rabu (4/4) tadi malam.

Dalam debat bertajuk “Topik Minggu Ini”, selain hadir Dita, turut hadir pula sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia Alfian Tanjung, dan Direktur Eksekutif Institut for Policy Studies Fadli Zon. Malam itu, mereka bedialog guna membahas kontroversi Papernas yang baru-baru itu banyak ditolak kehadirannya oleh kalangan masyarakat.

Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), pihak yang melarang, beralasan, Paprenas adalah penjelmaan komunisme gaya baru dan dianggap melawan ketetapan MPR mengenai larangan penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme.


Senada dengan FAKI, Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia ini menilai Papernas adalah embrio komunis. Ini tak lain dari cara-cara gerakan partai ini yang selalu mengusung kemiskinan dan masalah sosial sebagai agenda utamanya. Menurut Alfian, semua ini dilakukan hanya untuk menarik massa sebelum bermetamorfosa menjadi partai komunis. "Ini sudah menjelang kodok, buntutnya tinggal dikit," tutur pria berjanggut tipis ini.

Bagaimana tanggapan Dita atas permintaan Alfian Tanjung itu? Menurut Dita, kelompoknya memang mengakui berhaluan kiri. Namun dirinya mengelak jika disebut berfaham komunis. "Seakan-akan semua yang ‘kiri’ itu komunis," tutur pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Serangan nara sumber dengan mengungkapkan data dan fakta, nampaknya membuat Dita kalang kabut malam itu. Alih-alih menghindari tudingan miring cap komunis, Dita justru membelokkan terhadap kesalahan Orde Baru dan syariah Islam.

Fadli Zon mengakui Orde Baru ada kesalahan, namun tak semua yang ada di jaman Orde Baru adalah salah. Fadli mengatakan, banyak sejarah penting sebagai bentuk kebiadaban PKI yang kini berusaha dimanipulasi.

Menurutnya, bagaimanapun, yang merasakan dampaknya dan sakitnya adalah rakyat, khususnya umat Islam terhadap Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.

Karena bahayanya, menurut Fadli, PKI benar-benar ancaman serius. Menurut Mahasiswa Program Studi Rusia FSUI ini, di beberapa Negara demokrasi pun, paham komunisme sangat dilarang. Di Jerman misalnya, Partai Nazi tetap dilarang karena trauma. Di Amerika partai rasis Black Party juga dilarang.

Ia mengingatkan, jika komunisme mulai bangkit, yang paling cepat reaksinya adalah umat Islam. Lebih jauh, Fadli menyarankan, agar Papernas tak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang larangan partai komunis. "Kalau bukan komunis kenapa enggak?" kata penyunting buku "Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948".

Benang PKI?

Maret lalu, sejumlah elemen masyarakat melakukan penolakan terhadap Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Penolakan dimulai ketika dideklarasikan akhir Januari silam di Kaliurang, Yogyakarta lalu menyusul ke Jakarta.

Penghadangan dilakukan massa dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR) dan beberapa eleman masyarakat. Massa menyerang iringan-iringan massa pendukung Papernas yang akan mendeklarasikan partai itu di Tugu Proklamasi, Jakarta kala itu.

Pihak yang menghadang beralasan, Papernas masih ‘onderbow PKI’, tak jauh beda PRD. Namun yang jelas, penghadangan itu bukan satu-satunya terjadi. Sebelumnya, di beberapa daerah, deklarasi partai ini juga diwarnai protes sejumlah kelompok massa.

Di Batu, Malang, Jawa Timur, misalnya, awal Maret silam, anggota organisasi Islam membubarkan konferensi pertama Papernas. Bahkan, bendera dan atribut Papernas lainnya pun dibakar massa. Juga di beberapa Lampung,

Di Jogja, pada Januari 2007, puluhan warga yang tergabung dalam Front Antikomunis Indonesia (FAKI) mengancam membubarkan kongres pertama Papernas di Kaliurang, Jogyakarta. Massa FAKI membakari atribut dan perlengkapan Papernas. [sctv/hid/cha]


Source : http://hidayatullah.com/index.phpoption=com_content&task=view&id=4496&Itemid=1

FPI anti Playboy!


haram hukumnya pakai kaos Playboy!


dilarang tidur-tiduran di bantal berlogo Playboy!


heboh sampul majalah Playboy edisi Indonesia

FPI segera somasi produk pers berbau pornografi


FPI anti ketelanjangan


Jakarta--RoL-- Front Pembela Islam atau FPI segera mengajukan somasi sejumlah media yang menyiarkan hal-hal yang dinilai mengandung pornografi.

"Kita menghormati putusan majelis hakim yang menolak dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Untuk itu, kami akan menempuh jalan lain dengan mengajukan somasi terhadap media-media yang menyiarkan pornografi," kata pengacara FPI, Hidayat Imran usai sidang putusan Pemred Playboy Erwin Arnada di PN Jakarta Selatan, Kamis.

Erwin yang dituntut pidana dua tahun penjara itu dinilai "lolos" dari hukuman karena majelis hakim menilai dakwaan jaksa yang mengenakan pasal pidana dinilai tidak cukup karena tidak menyertakan UU No 40/1999 tentang Pers dalam pengadilan terhadap produk pers.

Menurut Hidayat, putusan itu merupakan putusan onslaag yang membenarkan adanya suatu perbuatan pidana namun kepada pelakunya tidak bisa diadili karena pengenaan undang-undang yang tidak tepat.

Erwin menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus pelanggaran kesusilaan karena pelaporan FPI ke Kepolisian. Dalam laporannya, FPI menyebutkan majalah Playboy Indonesia yang dipimpin Erwin dinilai sebagai produk barang cetakan yang meresahkan masyarakat dan dinilai bisa merusak moral bangsa.

"Somasi itu tidak hanya pada Playboy, tapi semua media yang porno, seperti Popular dan Maxim," kata dia memerinci media yang akan disomasi FPI pada bulan Mei mendatang. Selain mengajukan somasi, kata dia lagi, pihaknya juga telah melakukan aksi boikot dengan tidak membeli produk-produk pers yang dinilai mengandung pornografi.

Usai pembacaan putusan perkara terhadap Erwin Arnada, sekitar 100-an orang yang beratribut FPI dan FUI (Forum Umat Islam) tidak mengajukan protes maupun membuat keributan sebagaimana pada sidang-sidang terdahulu. Satu dua orang dari massa tersebut terdengar mengutarakan kekecewaannya namun tidak membuat aksi yang memerlukan penanganan 665 petugas keamanan yang telah disiagakan di PN Jakarta Selatan. Antara

yto

Republika - Kamis, 05 April 2007 15:07:00

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=288621&kat_id=23

___________________________________


KOMENTAR USIL

Ambon e-mail: ambon@tele2.se


Bau pornografi itu macam apa? Berbau winyak wangi "Sedap Malem Bulan Purnama", Asam Manis ataukah tai kucing?

03 April 2007

Bubarkan Papernas

Pembubaran Partai Politik

Ada peristiwa politik yang terjadi pekan ini yang berkenaan dengan eksistensi suatu partai. Konsolidasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), mendapat perlawanan dari kekuatan anti komunis yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Front Pembela Merah Putih.

Perlawanan itu berakibat adanya bentrokan fisik antara kedua kekuatan itu. Menariknya, satu pihak menuduh Papernas adalah bentuk baru dari kebangunan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang menganut paham komunisme.

Di lain pihak, pimpinan Papernas menantang untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan itu. Aksi penentangan atas eksistensi Papernas telah beberapa kali dilakukan yaitu ketika Kongres I di Kaliurang, Januari 2007 dan ketika Konferensi Daerah Jawa Timur di Malang, Maret 2007. Selain melakukan aksi penghadangan, FPI juga menyampaikan aspirasi kepada Ketua DPRRI Agung Laksono, Riau Pos (30/3/2007).

Rezim pasca Orde Baru, telah mengalami kemajuan dalam memberikan penghormatan atas kebebasan berasosiasi dan berpartai. Era reformasi telah banyak meninggalkan karakter rezim yang otoriter.

Terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pengawasan atas eksistensi suatu partai, antara masa Soeharto dengan masa reformasi. Dalam masa Soeharto, kewenangan untuk melakukan pengawasan, pembekuan dan pembubaran suatu partai politik, berada di tangan pemerintah. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, baik dalam UU No3/1975 ataupun UU No3/1985.

Sistem yang ada itu menempatkan pemerintah bertindak sebagai penyidik, penuntut sekaligus hakim. Keberadaan kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) hanya berfungsi dan terbatas sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan yang pertimbangannya disampaikan kepada presiden.

Tindakan pembekuan atau pembubaran atas suatu partai sangat tergantung dari hasil penilaian presiden atas pelanggaran partai tersebut atas ketentuan undang-undang.

Presiden dalam hal ini merupakan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan lembaga MPR, yang terdiri dari kekuatan-kekuatan politik baik partai politik, militer atau utusan daerah dan utusan golongan.

Pembentukan partai sebagai perwujudan dari kebebasan berasosiasi, ditutup rapat atau tidak ada ruang. Ruang lingkup pengawasan meliputi asas dan tujuan partai yang harus mengamalkan dan mengamankan Pancasila, larangan melaksanakan dan menyebarkan faham komunisme.

Dalam masa reformasi, proses demokratisasi terjadi dengan bergesernya kewenangan melakukan pembubaran atas suatu partai dari presiden ke pemegang kekuasaan kehakiman.

Amandemen konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Pengawasan dilakukan oleh Departemen Kehakiman, Komisi Pemilihan Umum dan Departemen Dalam Negeri.

Ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri meliputi kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau undang-undang lainnya, kegiatan yang membahayakan NKRI, kegiatan yang bertentangan kebijakan pemerintah dalam memelihara persahabtan dengan negara lain, larangan menerima bantuan dari pihak asing, BUMN, BUMD, BUM Desa, larangan menganut dan menyebarkan faham komunisme.

Sedangkan untuk proses pembubaran, pemerintah diberikan kewenangan untuk berposisi sebagai pemohon. Permohonan untuk pembubaran partai harus disertai uraian tentang idiologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai yang dianggap betertentangan dengan UUD 1945. Dalam hukum acara di MK, tidak diberikan peluang adanya gugatan perwakilan masyarakat.

Hal ini berbeda dengan masa awal reformasi. Sebagai konsekuansi dari adanya pembaharuan undang-undang politik, lahirlah UU No2/1999 tentang Partai Politik, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan atau membubarkan suatu partai.

Menjawab kewenangan ini, keluarlah Peraturan Mahkamah Agung No2/1999 yang memberikan pengakuan atas adanya gugatan perwakilan masyarakat (class action) untuk mengajukan gugatan pembubaran suatu partai atas tuduhan pelanggaran undang-undang.

Lihat kasus gugatan perwakilan masyarakat yang menuntut pembubaran Partai Golongan Karya di Mahkamah Agung, Tahun 2001.

Kembali pada kasus tuduhan FPI tentang dianutnya faham komunisme oleh Partai Papernas. Bila FPI bertujuan untuk memasuki wilayah hukum, yaitu pembubaran Partai Papernas, ada baiknya dilakukan pengumpulan fakta di lapangan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Papernas yang berkaitan dengan asas, idiologi, program, kegiatan dimaksud.

Hanya saja, FPI dan kawan-kawan tidak dapat mewakili masyarakat untuk mengajukan gugatan ke MK, namun harus membawanya dan mendesakkannya dulu ke pemerintah. Bila pemerintah sependapat dengan FPI, barulah pemerintah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, agar Partai Papernas dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Bagaimana kalau pihak pemerintah, dengan pertimbangannya sendiri, termasuk pertimbangan politik, tidak mengajukan permohonan pembubaran kepada MK?

Hal ini terjadi ketika Presiden Soekarno tidak bersedia menggunakan kewenangannya untuk membubarkan PKI, walaupun tuntutan untuk itu telah disuarakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia!***

Husnu Abadi, Direktur Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) UIR dan Ketua PDPTS Riau.

RIAU POS
03 April 2007 Pukul 09:30

01 April 2007

Kebohongan perkosaan masal Mei 1998 terungkap








Assalamu'alaikum wr wb,

Isu pemerkosaan massal atas perempuan Cina dalam Kerusuhan Mei 1998 senantiasa dihembus-hembuskan. Tidak lebih dari berita bohong.

Hasil penyidikan FBI akhirnya membongkar kebohongan itu. "Jika sebuah kebohongan terus-menerus diceritakan hingga terdengar luas di masyarakat, maka lama-kelamaan masyarakat akan meyakini kebohongan itu sebagai sebuah kebenaran." kata Menteri Propaganda Nazi Jerman, Dr Josef Goebels, enam dasawarsa yang lalu.

Meski sudah kuno, namun prinsip propaganda yang diterapkan Nazi untuk melibas bangsa Yahudi di Eropa menjelang Perang Dunia II itu masih terus dipakai dan dilestarikan hingga kini.

Strategi propaganda ala Goebels ini pun tetap laris di Indonesia dan masih cukup efektif sebagai alat pemukul lawan politik dan ide yang berseberangan. Tengoklah
berbagai propaganda hitam yang dikembangkan dengan cara itu. Misalnya, pembangunan opini bahwa Islam sudah tidak cocok untuk zaman modern ini, pembentukan opini bahwa
poligami identik dengan kekerasan, pengelabuan bahwa pluralisme adalah kebaikan yang harus diterima dan sebagainya.

Tapi, propaganda kebohongan paling dahsyat di Republik ini adalah isu tentang pemerkosaan massal atas para perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan Mei 1998. Dengan sistematis mereka meniupkan isu tentang isu perkosaan itu, dengan berbagai cerita di berbagai media, dengan berbagai cara dan sarana, baik di dalam dan luar negeri. Padahal, dengan jelas isu itu sebenarnya dipakai untuk mendeskreditkan Islam dan simbol-simbol Islam.

Kisah Vivian dan Foto-Foto Perkosaan

Internet menjadi sarana paling hebat untuk menyebarluaskan kisah perkosaan massal itu. Yang paling kontroversial adalah kisah yang konon dialami oleh seorang gadis
keturunan Cina bernama 'Vivian. Kisah itu muncul kira-kira pada pertengahan Juni 1998. Konon Vivian tinggal bersama orang tuanya di lantai 7 sebuah apartemen di kawasan Kapuk, Jakarta Utara ketika diserbu orang-orang tak dikenal saat kerusuhan Mei. Mereka lalu memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangga-tetangganya.

Kisah Vivian sangat deskriptif, detail dan menyentuh, sehingga mampu membangkitkan emosi. Majalah Jakarta-Jakarta sempat mengutip cerita perkosaan yang sangat vulgar itu mentah-mentah dalam sebuah edisinya. Dalam cerita itu, dengan sangat kurang ajar, ia menceritakan bahwa orang-orang yang bertampang seram itu memperkosa mereka
dengan berteriak "Allahu Akbar" sebelum melakukan perbuatan itu. Caci maki pun berhamburan kepada ummat Islam dan para Ulama.

Hampir bersamaan dengan munculnya kisah Vivian, muncul pula foto-foto yang konon berisi gambar para korban kerusuhan Mei di jaringan internet. Beberapa website memuat foto-foto yang luar biasa sadis dan mencekam. Siapapun pasti tersulut
amarahnya bila melihat foto-foto yang disebut-sebut sebagai foto kerusuhan Mei 1998 dan korban-korban perkosaan massal itu.

Pemajangan foto-foto di media internet itu telah mengundang emosi luar biasa bagi etnis Cina di seluruh dunia. Mereka menganggap kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah operasi yang sengaja ditujukan untuk mengenyahkan orang Cina, dan menyetarakan kasus perkosaan massal atas perempuan-perempuan itu dengan kasuk The Rape of Nanking,
saat pendudukan Jepang ke Cina tahun 1937.

Upaya Menelisik Fakta

Para wartawan yang kredibel mengakui bahwa pada saat peristiwa Mei 1998, peristiwa perkosaan memang terjadi. Seorang wartawan FORUM mendapat pengakuan dari seorang
anggota Satgas PDI Perjuangan bernama M, bahwa dia dan teman-temannyalah yang menyerbu dan membakar pertokoan di Pasar Minggu. Ia juga mengaku melecehkan perempuan, bahkan beberapa kawannya memperkosa mereka. Tapi menurut dia,
korban tidak hanya dari kalangan Cina. "Siapa aja, ada Amoy, ada Melayu, ada Arab," kata anggota Satgas PDIP itu.

Para wartawan pun terus mencoba mengejar dan mewawancarai korban dengan semua petunjuk tentang para korban, tapi hasilnya nihil. Konon semua sudah pergi ke luar negeri dan tidak terlacak lagi. Hanya anak ekonom Christianto Wibisono yang terkonfirmasi sebagai korban perkosaan Mei 1998. Majalah Tempo, dalam edisi pertama setelah terbit lagi juga tak mampu menemukan korban, apalagi sampai berjumlah ratusan.

Beberapa wartawan yang melacak lokasi yang di duga menjadi tempat tinggal Vivian dan keluarganya, juga tak menemukan apa-apa. Warga di sekitar apartemen menjawab tidak ada dan tidak pernah terdengar adanya Amoy yang diperkosa saat kerusuhan Mei 1998. Seorang anak nelayan yang pada dua hari jahanam itu menjarah apartemen tempat Vivian tinggal mengaku, jangankan memperkosa, ketemu penghuni juga tidak. Sebab, mereka sudah kabur ke luar negeri.

Soal jumlah korban perkosaan pun menjadi ajang perdebatan seru. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan Mei 1998 pecah gara-gara bab yang membahas hal ini. Sebagian anggota ingin memasukkan semua laporan tentang adanya perkosaan, sementara yang lain meminta semua di klarifikasi dulu. "Terkesan ada yang ingin memanfaatkan isu ini untuk kepentingan tertentu." kata anggota TGPF Roosita Noer.

Tengoklah data yang mereka kumpulkan. Dari 187 nama menurut daftar yang dibawa anggota TGPF Saparinah Sadli dan 168 dalam daftar Pastor Jesuit Sandyawan Sumardi, ternyata hanya 4 orang yang berhasil diklarifikasi, yang lain baru qaala wa qiila, alias kata orang. Sementara, 2 (dua) orang korban yang di datangkan anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana ternyata orang gila beneran yang di duga sudah lama. Lucunya, ketika data ini diminta, Ketua TGPF Marzuki Darusman tidak mau membagi data itu kepada anggota yang lain.

Dari sisi ilmu statistik, data soal perkosaan massal pun aneh. Misalnya laporan tentang adanya perkosaan jauh lebih besar dari pada laporan tentang pelecehan seksual, di raba-raba dan sebagainya. Padahal, seharusnya menurut statistik, berdasarkan kurva sebaran, pola acak akan selalu membentuk kurva seimbang. Jumlah laporan orang yang diraba-raba saja seharusnya lebih banyak dari pada yang dilaporkan mengalami pelecehan, apalagi yang sampai diperkosa, dengan tingkatan paling berat.

Kebenaran kisah Vivian sempat juga dipertanyakan kalangan keturunan Cina sendiri. Mungkinkah si terperkosa, dalam waktu singkat menceritakan hal ini, sehingga cerita ini muncul di internet pada 13 Juni 1998--- dan bisa mengendalikan emosi, sehingga bisa menuliskan kisah kesadisan yang dialaminya secara detail? Bukankah hal ini
bertentangan dengan anggapan bahwa etnis Tionghoa teramat sangat tertutup dalam hal perkosaan?

Setelah menerima banyak pertanyaan soal orisinilitas cerita Vivian, pengelola situs Web World Huaren Federation (WHF), Dean Tse, dalam pesannya tanggal 18 Agustus 1998,
minta agar pengirim cerita bisa memberi keterangan lebih lanjut. Namun hingga kini, permintaan Dean Tse belum ada jawaban. Dean Tse pun tidak bisa melacak alamat si pengirim cerita tersebut di jaringan internet.

Belakangan Soekarno Chenata, pengelola situs Web Indo Chaos, juga mengakui foto-foto yang bergentayangan di situsnya, sama sekali tidak otentik. Kepada detik.com, Soekarno mengaku pernah menerima foto sadis yang sempat di pajang di Indo Chaos. Namun ia segera mencabut foto itu dari situsnya karena ternyata foto itu adalah hasil montase dan diambil dari situs porno yang memang brutal.

Terbongkar Habis

Upaya pembuktian telah dilakukan, namun upaya pengaburan dan disinformasi terus dilakukan. Misalnya, ketika fakta bahwa Vivian tidak pernah ada, para agitator itu berdalih, Vivian adalah nama dan alamat yang dipakai dan hanyalah nama samaran. Ketika para wartawan tidak menemukan korban, mereka berkilah soal keselamatan korban. Hingga akhirnya kebohongan itu terbongkar, justru dari AMERIKA SERIKAT,
tempat di mana para pembohong itu mengobral cerita untuk menyudutkan kaum Muslimin di Indonesia.

Semula, pemerintah Amerika Serikat dengan mudah memberikan suaka kepada imigran asal Indonesia yang mengaku dianiaya dan dirudung kekerasan seksual di negerinya dengan alasan etnik dan agama. Tapi gara-gara kesamaan pola cerita, kedekatan waktu pengajuan, kesamaan alamat dan asal pengaju, dan kesamaan kantor pengajuan, mereka mulai curiga.

Setelah menyelidiki selama dua tahun, pada Senin, 22 November 2004 satuan tugas rahasia pemerintah Amerika Serikat menggelar operasi bersandi Operation Jakarta.
Operasi penangkapan 26 anggota sindikat pemalsu dokumen suaka ini dilakukan serentak di lebih dari 10 negara bagian di Amerika Serikat. "Pemimpin sindikat ini adalah Hans Guow, WNI yang dikabulkan permohonan suakanya pada 1999," kata Jaksa Penuntut Wilayah Virginia, Paul J McNulty yang menangani kasus ini.

Para tersangka dikenai tuduhan sama, yakni memalsukan dokumen suaka serta berkonspirasi dalam pemalsuan berbagai dokumen. Awalnya mereka hanya membantu menyediakan dokumen asli tapi palsu. Tapi setelah berhasil mengibuli pihak berwenang dengan memalsukan izin kerja dan nomor jaminan sosial, mereka mulai menyiapkan aplikasi suaka palsu.

Mereka juga menyiapkan skenario pengakuan bo'ong-bo'ongan seperti diperkosa atau dianiaya dalam kerusuhan Mei 1998. "Cerita tentang penyiksaan itu sangat seragam karena para pelamar menghafalkan kata demi kata secara persis seperti yang diajarkan," kata Jaksa McNulty. Mereka pun mengajari kliennya untuk menangis dan memohon dengan emosional untuk mengundang simpati petugas.

Lucunya, mereka menceritakan kisah yang sama. Cerita diperkosa supir taksi misalnya meluncur dari mulut 14 perempuan yang mengajukan permohonan suaka sejak 31 Oktober
2000 hingga 6 Januari 2002. "Mereka mengaku diperkosa karena keturunan Cina," kata Dean McDonald, agen spesial dari Biro Imigrasi dan Bea Cukai Kepabeanan Departemen
Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat di negara bagian Virginia.

Belakangan, Voice of Amerika juga membuat liputan investigatif tentang isu perkosaan massal itu. Mereka keluar masuk berbagai lokasi yang dicurigai sebagai TKP perkosaan massal, dan mencoba mewawancarai berbagai pihak. Tapi hasilnya nihil. Perkosaan memang ada, tapi dengan mengikuti petuah Goebels, fakta telah didramatisasi sedemikian rupa dan dimanipulasi dengan dahsyat.

Wa lahu khairul maakireenn.. .....

Oleh:
Abu Zahra

Disarikan dari:

TABLOID DUA MINGGUAN SUARA ISLAM, EDISI 17, MINGGU III-IV MARET 2007

Bila tertarik untuk berlangganan hubungi:

Jl. Utan Kayu Raya No. 88, Jakarta Timur
Telp: 021 8563313

Iklan dan pemasaran, hubungi:
021 8563313,
021 68972135,
021 98738038

_________________________________________________

TANGGAPAN

Pemerkosaan Masal Warga Keturunan Tionghoa


Ciri-ciri pelaku pemerkosaan massal:
(1) Terlebih dahulu melakukan pembakaran ban,
(2) Para pelaku sudah terlatih,
(3) Sebagian pelaku berpakaian seragam SMU,
(4) Perkosaan dilakukan secara terencana dan sistematis,
(5) Dilakukan secara bersamaan di berbagai tempat (kasus terbanyak di Jakarta Barat dan Utara),
(6) Setelah memperkosa kemudian membakar dan menjarah korban,
(7) Satu pemerkosaan dilakukan 3 hingga 10 orang,
(8) Usai memperkosa pelaku meneriakkan yel-yel anti Cina.
(9) Pemerkosa tidak kenal dengan korban.

Kasus perkosaan warga keturunan saat kerusuhan, pertengahan Mei lalu, di Jakarta dan Solo, bukan tindak kriminal biasa. Perkosaan ini sangat terencana, sistematis dan sarat dengan muatan politik. Setidaknya inilah kesimpulan sementara beberapa organisasi perempuan, diantaranya: Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kalyana Mitra, Mitra Perempuan, Koalisi Perempuan, dan Dharma Wanita.

168 kasus perkosaan terhadap warga keturunan Tionghoa terjadi saat kerusuhan Mei lalu - dua puluh diantara korban itu tewas karena terperangkap api dan dibunuh - dilakukan oleh kelompok (yang tidak menginginkan perubahan) tertentu yang terlatih. Mereka sengaja melakukan itu agar muncul tuduhan bahwa aksi massa yang menuntut reformasi telah cacat oleh kasus perkosaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan masih satu paket dengan peristiwa penculikan dan penembakan di Universitas Trisakti.

Tim relawan membuktikan, perkosaan itu tidak dilakukan oleh orang awam karena kebencian terhadap warga keturunan. Apalagi karena kesenjangan sosial. Perkosaan itu semata-mata dilakukan untuk merusak citra gerakan yang menginginkan perubahan.

Teror mental seperti ini sangat efektif untuk meredam gerakan-gerakan yang ingin melakukan perubahan, seperti yang terjadi di Timor-Timur, Aceh dan Irian. juga pernah terjadi di Timor-Timur, Aceh dan Irian.

Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini ? adalah jawaban yang harus diungkapkan. Karena masalah perkosaan warga keturunan ini tidak akan selesai begitu saja jika pemerintah tidak berhasil menyelesaikannya dan mengupayakannya agar menjadi kejadian yang terakhir dan tidak akan terulang kembali. Ia akan menjadi kenangan buruk dan menjadi dendam kesumat yang berkepanjangan jika para pemerkosa ini dibiarkan bergentayangan.

Sesungguhnya derita yang teramat perih yang ditanggung oleh korban perkosaan massal adalah derita bangsa. Dan betapa kekerasan yang ditimbulkan oleh sara selalu membawa dampak yang menghancurkan.


sumber:
members.tripod.com/~insearching/perkosa.html

_____________________________________

FOTO DAN DATA TENTANG PERKOSAAN YANG MISTERIUS

source: http://www.geocities.com/CapitolHill/1425/explanation.html

From: merah putih (posting on soc.culture.indonesia)


Melalui jaringan internet foto-foto kasus perkosaan pertengahan Mei 1998 lalu di
Jakarta dan Solo telah menyebar ke seluruh dunia. Di Singapura foto itu bahkan digelar dalam sebuah pameran resmi. Akibatnya reaksi keras menghujat Indonesia kini bermunculan, baik di Jakarta, Hongkong, Beijing, Taipe, Singapura maupun di berbagai belahan dunia lainnya.

Ditengah reaksi atas foto yang tersebar di tataran internet dan menjadi konsumsi
masyarakat dunia itu, Harian Asian Wall Street Journal (AWSJ) edisi 20 Agustus
1998 mencurigai foto-foto itu palsu dan tidak berhubungan sama sekali dengan
kerusuhan pertengahan Mei lalu.

Dugaan foto tersebut sebagai palsu dan kebohongan juga muncul dari “Aware”
kelompok dari Singapura. Bersamaan dengan itu juga muncul reaksi kecurigaan serupa dari Dewan Reformasi Pemuda dan Mahasiswa Surabaya (Derap Masa) yang menganggap foto tersebut sebagai rekayasa dan kepalsuan untuk mendramatisir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo.

Kecurigaan itu cukup beralasan karena sesuai dengan pemberitaan Harian Asian Wall
Street Journal (AWSJ) antara lain disebutkan bahwa paling tidak 15 foto adalah
palsu dan sumbernya “Asian Pornography Website, East Timoresse Exite Homepage dan US Based Exhebition of gori photos”.

Sebagai contoh foto tentang seseorang dengan Uniform menyiksa seorang wanita
dengan tongkat, puntung rokok dan tali, ternyata berasal dari segepok foto milik
East Timoresse Exite Homepage yang sudah muncul sejak bulan November 1997, jauh sebelum kerusuhan di Jakarta terjadi. Data ini jelas merupakan kebohongan nyata dari para aktivis LSM yang sejak awal telah gencar mempersoalkan masalah ini.

Sementara itu anggota Tim Relawan yang juga Pimpinan Gereja Utusan Pantekosta
Jemaat Pasar Legi di Solo Drs. Ch MD Estefanus, Msi, membantah kebenaran laporan bahwa 24 Wanita WNI keturunan Cina menjadi korban kasus perkosaan massal di Solo. Bahkan beliau menulis surat khusus kepada Kapolwil Surakarta dan menyatakan bahwa laporan itu bohong belaka.

Hal serupa juga dialami oleh berbagai Tim Relawan yang dibentuk di Jakarta,
termasuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk Pemerintah beberapa waktu lalu masih belum mampu memberikan data konkrit kepada masyarakat Aktivis Perwakilan Ummat Budha Indonesia (Walubi) Ny,Hartati Murdaya hingga kamis 20 agustus 1998 mengaku belum menemukan satupun Korban dugaan kasus perkosaan massal.

Sementara Direktur LBH di Jakarta Nursyahbani Katjasungkawa juga mulai tidak yakin dengan pendiriannya yang semula getol mengutuk kasus perkosaan massal itu. Ia menyatakan tidak tahu persis jumlah korban perkosaan, soalnya Ia tidak
ikut menjadi anggota Tim Relawan.

Bahkan Romo Mangun Cs + Ita Nadia sewaktu di AS ada yang bertanya bahwa foto-foto dan poster-poster yang dibawa adalah palsu, mereka agak gugup karena
poster perkosaan yang diedarkan sudah beredar sejak 2 tahun yang lalu oleh CNRM
Ramos Horta di AS dan Eropa. Selain itu Ita Nadia juga mengeluarkan issu yang
sensitive bahwa diantara kelompok pemerkosa sebelum melakukan aksi perkosaan,
berteriak “Allahu Akbar”. Selesai kesaksian di Kongres AS, Romo Mangun Cs
berangkat juga ke Genewa untuk sidang PDPM dan juga membohongi publik
internasional bahwa 162 orang diperkosa sistematis dan 20 orang tewas.

Jika dicermati berbagai komentar/pendapat banyak pihak termasuk yang sudah sejak
awal menjadi relawan dalam upaya mengungkap kasus perkosaan massal itu sudah mulai ragu atas data dan foto- foto peristiwa tersebut.

Sekarang ini dikalangan LSM sendiri mulai timbul keragu-raguan misalnya dari
Website “Indonesian Hvaren Crisis Centre”, menyatakan bahwa foto-foto palsu dan
minta “Visitors” untuk menandai bila ada foto-foto lain yang juga palsu.

Tetapi ada juga LSM “kepala batu” yang tetap bertahan dan menyatakan bahwa benar atau palsunya foto tidak penting, sebab masalah utamanya agar pemerintah Indonesia sadar bahwa ada masalah terhadap WNI keturunan Cina dan harus mengambil langkah nyata.

Nah lho..apa ini bukan logika yang terbalik-balik ? Lagi pula tindakan
menghalalkan cara atau fitnah, kan lebih kejam dari pembunuhan..?

Di tengah kepanikan dan derita rakyat Indonesia, ternyata LSM dan kalangan media
massa mampu meraup keuntungan yang membebaskan mereka dari situasi Krisis moneter (Krismon), namun martabat bangsa dan negara kita tercinta ini telah dihancurkan.


________________________________


Dibalik Tragedi Mei ‘98
Temu wicara dengan Rm. Sandyawan Sumardi


Oleh: Jonathan Goeij

“Adalah mudah bagi saya untuk membunuh Romo dan memperkosa adik-adik
yang berada disini malam ini juga.” kata lelaki berbadan tegap dan
atletis seperti tentara itu sambil menunjuk keempat gadis keturunan
Tionghoa yang mendampingi Rm. Sandyawan.

Awal gerakan Tim Relawan untuk Kemanusiaan

Gerakan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) diawali ketika kantor DPP
PDI Megawati diserbu oleh PDI Suryadi, dicanangkan untuk menolong
para korban kekerasan tanpa memandang siapapun yang menjadi korban.
Merupakan gerakan independen, non sektarian, tidak berbasis agama,
non partisan (bukan underbow partai manapun), dan mengikuti orde hati
nurani.

Gerakan dengan inisiator Rm. Sandy ini pertama kali mempunyai
anggota-anggota al: KH Abdurachman Wahid (Gus Dur), ibu Karlina, ibu
Ade, Rita Kaliwongso, Marzuki Darusman, Luhut Pangaribuan, Garuda
Nusantara dan Hilman Faried.

Sikap Gus Dur setelah jadi Presiden

Dengan mempunyai anggota dipucuk pemerintahan sekarang ini seperti
Gus Dur sebagai Presiden dan Marzuki Darusman sebagai Jaksa Agung,
tidaklah membuat proses penyidikan dan pengadilan Tragedi Mei
berjalan baik. Fakta mengatakan hal yang sebaliknya, setelah menjadi
Presiden ternyata Gus Dur bersikap menjauh dari TRK, hal ini bisa
dibuktikan karena kelompok keluarga korban yang bernaung dalam
Paguyuban keluarga korban tragedi Mei ‘98 hingga detik ini tidak
pernah diterima Gus Dur padahal telah 30 kali melakukan usaha
menemui Gus Dur, sedangkan Habibie ketika jadi presiden bersedia
menerima kedatangan kelompok korban tsb. Gus Dur lemah dalam
memberikan keadilan bagi korban-korban pelanggar HAM.

Wiranto: terjadi kekosongan aparat keamanan

Rm. Sandy mengatakan adalah omong kosong pernyataan Wiranto telah
terjadi kekosongan aparat keamanan diseluruh Jakarta karena ditempat-
tempat strategis dilindungi secara besar-besaran. Berdasarkan
informasi dari aparat keamanan di Solo, pada dinihari tanggal 14 Mei
ada sekian SS Kopasus terbang dari Surakarta menuju Jakarta dan
mendarat di Halim, ratusan Kopasus menyebar diseluruh Jakarta tidak
teridentifikasi (unidentified) karena telah berbaur dengan kelompok-
kelompok preman yang telah terlatih dan dipersiapkan. Mereka inilah
yang memimpin penyerangan-penyerangan.

Dibalik pembunuhan Ita Marthadinata

Pembunuhan Ita Marthadinata merupakan suatu cara teror untuk
menghentikan akumulasi keberanian korban-korban kekerasan seksual
untuk memberikan testimoni didepan publik, ketika itu sudah ada tiga
orang korban yang bersedia memberikan kesaksian dengan didampingi
sembilan ibu-ibu yang terdiri dari psikolog, dokter, pendamping para
korban ketika melarikan diri keluar negeri, dua bidan yang
mendampingi proses aborsi korban yang hamil waktu diperkosa.

Mereka diancam akan diperkosa dan dibunuh setelah Ita dibunuh secara
kejam. Anggota TRK terutama ibu-ibu keturunan Chinese mendapat teror
melalui telpon secara langsung, tidak diketahui bagaimana mereka bisa
mendapatkan telpon-telpon yang strategis tsb., bahkan cukup banyak
keluarga korban yang memutuskan tidak berhubungan dengan TRK karena
takut diteror.

Di Indonesia sampai sekarang ini belum berhasil dibuat UU
perlindungan saksi dan korban. Rekomendasi TGPF tidak dilanjuti oleh
pemerintah karena militer di Indonesia masih sangat kuat.

Percobaan pembunuhan

Sebuah granat dengan pin yang terbuka diletakkan ditempat parkir
dikantor TRK, biasanya Rm Sandy memarkir mobilnya persis pada tempat
granat diletakkan. “Tetapi entah bagaimana saya waktu itu habis misa,
saya turun dijalan dan itu tidak pernah terjadi, setelah itu saya
jalan kaki dan menemukan granat itu ada di depan saya, lalu saya
menelpon polisi yang ketika insiden 27 Juli menangkap dan
menginterogasi kami, sekarang menjadi teman, kolonel posisi itu
berkata Romo kau akan dijebak kalau Romo tidak melaporkan, Romo akan
dituduh merakit bom dan segera akan ditangkap.” tutur Rm. Sandy.

Setelah melapor pada polres terdekat, pasukan gegana datang dan
mengambil granat itu dengan hati-hati, keesokan harinya Kapolri
mengumumkan bahwa granat itu adalah granat-granatan. Rm. Sandy
membalas dengan mengatakan bahwa polisi adalah polisi-polisian.

Operasi militer

Sebagai anggota TGPF didampingi Bambang Wijayanto, ketua YLBHI, Rm.
Sandy menginterogasi Jend. Zaki Anwar Makarim, ketua Badan Inteligen
ABRI (BIA), menanyakan cara kerja BIA. Zaki dengan bangga
menceritakan betapa profesionalnya cara kerja BIA. Romo, “Dengan
begitu profesionalnya mengapa tidak bisa mengantisipasi tragedi Mei
sebesar itu?” Jawab Zaki, “Oh tidak, kami telah tahu sebelumnya, satu
minggu sebelumnya kami telah memberikan warning kepada seluruh
komandan dilapangan dan menurut rencananya ‘bancakan habis’ itu akan
dilakukan dengan martir terlebih dahulu di Jogja.”

Dan memang di Jogja waktu itu akan ada kerusuhan dengan dibunuhnya
Moses, seorang mahasiswa, untuk memancing mahasiswa. tetapi saat itu
tidak terjadi kerusuhan.

Pada saat itu banyak sekali demo mahasiswa dari Sabang sampai
Merauke, di Jakarta di kampus Trisakti mahasiswa dipaksa dipancing
keluar dengan penembakan peluru tajam secara brutal, yang
mengakibatkan tewasnya keempat mahasiswa.

Itulah awal tragedi Mei, karena setelah itu aparat keamanan turun
secara besar-besaran dan memimpin operasi militer. Hanya berita yang
dilansir kepermukaan adalah masyarakat miskin urban yang menyerang
kelompok-kelompok Tionghoa, tindakan diskriminasi rasial memang ada,
tetapi yang menjadi dalang sebenarnya adalah operasi militer.

Masyarakat miskin urban sebagai Kambing Hitam

Pangdam Jaya Sjafrie Syamsudin dan Gubernur Sutiyoso mengatakan
pelaku-pelaku kerusuhan Mei adalah masyarakat miskin urban yang
melakukan tindakan penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok
masyarakat Tionghoa. Para pelaku itu berjumlah 300 orang dan telah
mati karena terjebak dalam kebakaran yang terjadi, karena para pelaku
kejahatan telah meninggal dunia maka tidak perlu diinvestigasi lagi.

Bayangkan mereka bunuh diri masal seandainya mereka adalah pelakunya,
demikian komentar Rm Sandy.

Sebenarnya hal itu tidak benar, memang mereka adalah kelompok miskin
misalnya kelompok yang tinggal di belakang Jogja Plaza di Klender.
Para provokator atau aparat keamanan itu mengambil terlebih dahulu
barang-barang seperti TV, kulkas dsb.nya lalu meletakkan didepan toko
dan meminta mereka mengambil sambil mengatakan, “Ayo kita ambil, ini
hak kalian.” Sebelum itu mereka dipancing agar muncul dijalanan
dengan membakar mobil-mobil dijalanan. “Sekarang saatnya merebut
kembali hak kalian.”

Tetapi ketika mereka masuk dan naik keatas, rolling door ditutup,
tabung-tabung gas dikumpulkan dan ditembak sehingga menimbulkan
ledakan besar dan kebakaran. Banyak saksi mata, ada ratusan, melihat
waktu mereka naik keatas sudah ada yang menyiram bahan bakar dari
gedung yang paling atas. Aparat keamanan turun kebawah dan menutup
rolling door dan menyiram bahan bakar yang, ada dari bahan kimia
karena tembok Jogja Plaza yang begitu tebal bisa terbakar habis.

Waktu itu di Jakarta banyak wartawan asing karena adanya sidang AFTA
sehingga diekspos juga, seorang wartawan perang yang pernah bertugas
di Kosovo berkomentar “Belum pernah saya menyaksikan tragedi yang
sedemikian mengerikan karena tubuh-tubuh manusia dipanggang
sedemikian rupa.”

Ada 1188 korban yang meninggal pada waktu pembakaran masal tsb., dan
ada yang ditembak dijalanan kemudian mayatnya dilemparkan kedalam
gedung yang terbakar.

Sikap Gereja Katholik pada waktu itu

Pada waktu penguburan masal dilakukan pihak gereja menolak
mengirimkan salah seorang uskup untuk mewakili gereja karena
banyaknya korban yang berjatuhan, padahal pada waktu ibu Tien
meninggal dunia Kardinal sendiri datang.

Pada saat ini sikap gereja sudah berubah karena setelah tragedi Mei
secara de facto toh banyak sekali gereja-gereja yang dibakar.

Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta

Meskipun rekomendasi TGPF telah dikeluarkan, ternyata hingga detik
ini pemerintah Indonesia belum menggelar pangadilan HAM ad hoc di
Indonesia, Gus Dur belum berhasil melaksanakan deliver Justice yang
tegas. Karenanya tidak mengherankan tindakan-tindakan kekerasan
merebak diseluruh Indonesia, yang terakhir di Sampit Kalimantan
Tengah yang korbannya telah mencapai 110 ribu, yang merupakan fokus
bantuan Tim Relawan saat ini..

Mengakhiri keterangannya Rm. Sandy mengatakan hampir di setiap
tragedi kekerasan politik yang masal selalu ada perkosaan masal, pola
yang sama dilakukan di Aceh, Timor Leste, Maluku dan berbagai tempat
lain.

Pertanyaan dan jawaban

Cukup banyak pertanyaan yang diajukan para peserta diskusi, penulis
tidak bisa menuliskan semuanya karena akan sangat panjang sekali.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul ada beberapa hal yang menarik
untuk disimak:

Perkembangan korban-korban pasca perkosaan?

Pdt. Bob Jokiman menanyakan perkembangan para korban perkosaan pada
saat ini.

Jawab:

Untuk para wanita yang telah berkeluarga, mereka cepat untuk pulih
kembali. Tetapi untuk para gadis yang masih remaja pada waktu
perkosaan itu terjadi, sukar untuk pulih, secara internal mereka
masih trauma sekali dan hal itu mengakibatkan mereka menghargai murah
dirinya secara seksual.

Perbedaan data antara Tim Relawan dan TGPF?

Jawab:

Tim Relawan terjun kelapangan dan melakukan investigasi bahkan sejak
tragedi itu dimulai, sedang TGPF dibentuk dua bulan setelah itu.
Karenanya data Tim Relawan lebih valid.

TRK terdiri dari ratusan anggota yang merupakan relawan dari
masyarakat dan juga dari korban dan keluarga serta teman korban yang
tergerak hatinya untuk membantu, yang melakukan pencarian data bukan
hanya Rm. Sandy dan ibu Karlina saja. Dan TRK sangat yakin dengan
data yang didapatnya.

Apakah tragedi seperti Mei bisa terulang kembali?

Jawab: Ya

Left party, historians under attack in Indonesia

1 April 2007

Peter Boyle

FAKI anti-communist thugs march on Papernas's founding congress in January.



Max Lane
30 March 2007


On March 28 and 29, a series of rightist mobilisations took place in Jakarta, including a 500-strong mobilisation aimed at disrupting a march and rally organised by the National Liberation Party of Unity (Papernas). The Papernas rally was protesting foreign domination of the Indonesian minerals sector and demanding its nationalisation. The right-wing thugs were armed with scythes, knives and canes. This was the fourth time in the last six months that Papernas has been targeted.




According to the Kompas daily newspaper, the following groups were involved in the attacks: Forum Betawi Rempug (FBR), Front Pembela Islam (FPI), Pelajar Islam Indonesia, the Indonesian National Patriotic Movement and the Front in Defence of the Red and White Flag. The Anti-Communist Movement (GERAK) also joined these groups in other smaller mobilisations.

Anti-communism

The common theme in these attacks has been virulent anti-communism. The government has created an atmosphere encouraging these small rightist groups by launching its own anti-communist campaign through the attorney-general’s department. This campaign has not been aimed at Papernas, but at a second group that also came under attack from rightist groups on March 28 — the numerous historians who have been writing new histories of Indonesia in the more free atmosphere after the fall of the Suharto dictatorship.

Last week, the attorney-general banned 14 history textbooks. Earlier, writers and even education ministry officials had been summonsed as part of a criminal investigation initiated by the attorney-general’s department. The historians’ “crime” is that they no longer label the actions of a group of military officers who detained and later killed seven generals on September 30, 1965, as part of a plot by the Indonesian Communist Party (PKI). The military officers who led the action to arrest their seniors, whom they claimed were plotting to overthrow President Sukarno, called themselves the Thirtieth of September Movement (G30S). General Suharto, whose faction seized control of the army, started a campaign to describe the G30S as a PKI conspiracy, labelling it the G30S/PKI. The PKI was banned and more than a million of its members and supporters killed in an army-led pogrom.

The new generation of historians have written textbooks that refer to G30S and, sometimes, provide alternative explanations of what happened in 1965. That they do not continue to blame the PKI is considered a criminal act by the attorney-general’s department. A 1967 resolution of the Peoples Consultative Assembly (MPR), which had been purged of all its left-wing members, banned the spreading of Marxism-Leninism. This resolution, which in effect bans communism, is still in place.

On March 28, 20 members of GERAK protested at the Indonesian Academy of Sciences, calling on it to clean itself of communists and singling out historian Asvi Warman Adam, one of the most active writers and campaigners for an end to the falsification of history, particularly the events of 1965. Other groups demonstrated at the attorney-general’s department supporting the ban on the history textbooks.

Attacks on Papernas

Papernas meetings were also attacked in Surabaya and Jogjakarta last year and in East Java earlier this year. The party that initiated Papernas’s formation, the People’s Democratic Party (PRD), last came under this kind of attack in 2001 when it was seen to be supporting then-president Abdurrahman Wahid, who had called for an end to the ban on all ideologies including communism. In these earlier instances, the group leading the attacks was the Indonesian Anti-Communist Front (FAKI), which was able to mobilise 50-100 armed men.

In most of these earlier cases, the police stood between FAKI and the Papernas events, so that no actual physical attacks took place. At the same time, the police applied pressure on Papernas to prematurely close its activities. The laws banning communism, which have not been questioned by any party in parliament, lend enormous legitimacy to these groups’ activities in the eyes of the police, many of whom reflect the conservative mentality developed during the Suharto years. As a result, while Papernas has refused to be intimidated and has continued to campaign, some of its events have been affected.

As part of launching Papernas’s political campaigning following its founding congress in January, the party scheduled a series of rallies including a Jakarta People’s Rally to demand the nationalisation of the mining sector. Of the 137 oil and gas companies operating in Indonesia, 110 are foreign owned, with contracts giving them exploration rights over 35% of Indonesian territory, according to Papernas’s analysis. The occasion for the demonstration was the parliament’s discussion of new laws on investment and a UN seminar at the Shangri-La Hotel reviewing Indonesia’s progress in meeting the UN’s Millennium Development Goals.

According to Papernas chairperson Agus Jabo, on the morning of March 29 around 2000 Papernas supporters, many of them members of urban poor campaign groups, headed for Jakarta in buses. They had been saving for months, donating a few cents a day so they could hire the buses. As they arrived at the second of their protest destinations, the Shangri-La Hotel, they came under a surprise attack from around 100 members of the FPI, FBR and other groups wielding knives and canes. The attackers threw stones into the crowd and smashed at least 20 bus windows. The overwhelming majority of the Papernas supporters were housewives, unarmed and many with young children. They were forced to disperse, heavy rain making the situation even more difficult. The Papernas supporters later regrouped back in their base areas, but had to cancel their planned afternoon Jakarta People’s Rally at the Independence Proclamation Park, where another 300 or so FPI and FBR members and others were also waiting.

Jabo said that at least 10 people had to be taken to hospital. According to Kompas, the head police detective was also injured. Despite knowing of the threats, the police mobilised only a very small contingent to the event, which was totally ineffective in protecting the rally. The police only issued the paperwork making the rally and march legal at the very last minute, using the threats and possible violence as a reason for holding up the bureaucratic permission process.

Still moving forward

Papernas members report that the feeling among their supporters after regrouping back at their base was strong and angry. “Later in the afternoon on March 29, we held a press conference protesting the events”, Jabo explained by phone. “There were other groups there who had suffered similar harassment the day before, such as the Coalition Against Foreign Investment, an NGO coalition that had protested outside the parliament.” At the conference, a joint protest statement was signed by Papernas and the two main Indonesian human rights organisations, Imparsial and Kontras, as well as the Jakarta Legal Aid Institute and the pro-democracy advocacy group DEMOS. Other groups, including the Working People’s Association (PRP), have also since issued solidarity statements.

“We will also be suing the FPI and FBR for the damages to the buses and to the ten people who were hospitalised, some beaten, some suffering heart problems”, Jabo said.

Dita Sari, Papernas’s presidential candidate, also relayed over the phone how three of the women at the rally also spoke at the press conference. “They told how these armed men demanded they confess to being paid to attend the rally. They refused, saying that they had instead donated 10,000 rupiah to pay for the buses. The gang members demanded the women confess to being communists, but they explained they were religious people and were there to support education and health for poor people. Others gave evidence of how they were beaten with bamboo canes.

“Again and again we have seen how the police cannot be relied on at all to protect our rights. I think this means that whenever Papernas organises events in the future we will need to have our own self-defence group for protection”, Dita said.

At the same venue, another meeting was being held to organise resistance to the attack on the historians. Hilmar Farid, one of the most active of the historians, said they would be thinking of how to link the responses to the increasing activity of the right-wing groups. As well as their petition campaign they are trying to organise a major public forum to debate the issue of the right to interpret history.

“It seems there is a conflict sharpening between some of the old Suharto-era groups and the elite factions who are trying to consolidate their power”, Jabo said. “Both, of course, want to shore up the neoliberal economic system, so they don’t like our policies. But it may be that the old New Order elements, now out of power, are trying to provoke wider horizontal conflict as a way of destabilising or discrediting those now in power. The groups who attacked us are just the manipulated agents on the ground, not the real forces pushing this process along.”


From: International News, Green Left Weekly issue #705 4 April 2007.

http://www.greenleft.org.au/2007/705/36623

Islamic vigilantes fall on hard times

March 20, 2007:
Islamic vigilante groups like FPI (Front Pembela Islam), which use violence to force people to behave in a proper Islamic way, are increasingly confronted by police. For example, in the last few weeks, FPI, and similar groups, have been trying to close a Christian seminary in the capital. Earlier in the month, 200 Islamic vigilantes surrounded the seminary, destroyed some smaller buildings, and were halted only by the arrival of several hundred police. Now the Islamic vigilantes are having second thoughts. A head-to-head confrontation with the police could be disastrous. For a long time, the police avoided cracking down on the Islamic vigilantes. But popular opinion has turned against Islamic radicalism. These guys are now seen as all pain, no gain. The police are looking for an opportunity to take down outfits like FPI.

March 19, 2007:
Leaders of Jemaah Islamiah (JI), the Indonesian wing of al Qaeda, admit the organization has run out of popular support, and is condemning terror attacks. But the Islamic radicals warn that many smaller groups, who take orders from no one, use information obtained on the Internet to plan attacks. The JI attacks over the past few years, killed many Moslems. Thus, just like in Iraq and Afghanistan, public opinion of the Islamic terrorists sank sharply.



http://www.strategypage.com/qnd/indones/articles/20070320.aspx