17 April 2006

Polemik "Playboy” Indonesia


FPI membakar majalah Playboy


TANGGAL 7 April 2006 muncullah jawaban atas pertentangan yang berlangsung sejak Januari 2006, Playboy Indonesia tetap dirilis ke pasar. Penerbitnya memang menepati janji tidak memuat foto-foto perempuan telanjang, tapi tentangan dan unjuk rasa tetap muncul diwarnai ancaman-ancaman. Kemunculan Playboy yang lisensinya dibeli miliaran rupiah ini sepertinya akan terus menjadi polemik.


ANGGOTA Front Pembela Islam membakar majalah "Playboy" Indonesia di depan pintu gerbang Gedung DPRD Jabar Jalan Diponegoro Bandung, Rabu (12/4).* DUDI SUGANDI/"PR"
Tentangan ini cukup berbeda dengan awal kemunculan majalah lisensi luar negeri bermateri gambar yang kurang lebih sama seperti For Him Magazine (FHM), Maxim, dan lainnya. Reaksi yang muncul berbeda pula terhadap tabloid-tabloid kuning yang sudah lebih dulu muncul namun tidak sampai dibakar.

Menurut pakar Ilmu Komunikasi, Deddy Mulyana, permasalahan yang menyeruak dengan hadirnya Playboy adalah citra atau simbolik yang sudah terbentuk atau terkonstruksi. Nama Playboy menjadi permasalahan karena pikiran orang langsung tertuju pada citra majalah Playboy di negara asalnya, Amerika Serikat.

Hal inilah yang memunculkan reaksi berbagai kalangan. Alasannya, kata Deddy, manusia sering bersikap pragmatis dan berdasarkan pengetahuan awam atau rata-rata. Sikap yang muncul semakin berlebihan bila didasari atas stereotip atau generalisasi yang juga berlebihan. "Sesuatu yang belum merupakan kenyataan seperti dugaan, stereotip, atau imajinasi saja bisa menjad problem. Nah, apalagi kalau stereotip sudah menjadi fakta," katanya.

Menurut staf pengajar Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung ini, fakta umum tentang Playboy adalah selalu memuat foto perempuan telanjang. Playboy Indonesia edisi perdana memang tidak memuat foto-foto telanjang. Namun, tetap menampilkan foto-foto sensual yang menunjukkan Playboy gagal beradaptasi dengan budaya Indonesia seperti yang dijanjikan.

"Kalau ingin menyesuaikan diri, namanya pun kenapa Playboy? Jadi, mereka pasti dengan perhitungan. Kalau namanya bukan Playboy tidak akan laku," ucapnya.

Ia mengatakan, Playboy merupakan daya tarik yang diasumsikan akan mendorong khalayak untuk membeli. Kehebatan nama itu terbukti karena tetap banyak yang sekadar mencari sampai membeli majalah meskipun aksi sweeping dilakukan pihak yang tidak setuju.

Pakar Ilmu Komunikasi, Dedy Jamaludin Malik, sepakat dengan hal ini. Dedy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI ini menganggap persoalan brand menjadi penyebab utama munculnya tentangan keras itu. "Ini merupakan citra global," katanya.

**

Bagi Dedy Jamaludin, untuk mengaitkan kebebasan pers yang dilindungi Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40/1999 dengan Playboy harus melalui penelitian di Dewan Pers. Isinya harus dibuktikan apakah memenuhi kaidah jurnalisme yang kode etiknya sudah disepakati. Bila tidak, maka tidak ada UU yang bisa meyakinkan bahwa Playboy merupakan suatu bentuk kebebasan berekspresi.

Menurut Deddy Mulyana, media massa memiliki tugas memberdayakan masyarakat. "Tidak ada sebuah media massa yang hampa nilai. Kalau media mengklaim memiliki kebebasan, kebebasannya adalah untuk tujuan itu," tuturnya.

Ia menegaskan, kebebasan media massa mirip dengan kebebasan individu yang bukan merupakan kebebasan tanpa embel-embel. Tidak ada kebebasan dalam pengertian mutlak. Bahkan, sangat sedikit dasar, alasan, atau bukti-bukti ilmiah yang mendukung dan menyatakan bahwa isi Playboy memperlihatkan kebebasan yang bertanggung jawab untuk masyarakat.

Secara psikologis, kemunculan Playboy pun bisa memunculkan dampak eskapisme yang membuat orang lari dari tanggung jawab kesehariannya. Bila dikonsumsi anak-anak, gambar-gambar itu akan dikonstruksi menjadi sesuatu yang taken for granted reality, atau sebuah realitas yang tidak pernah dipersoalkan lagi, menjadi suatu normalitas. "Kesadaran manusia memang bisa dibuat seperti itu, bisa dikonstruksikan dan, media massa punya peranan yang besar," ucapnya.

Dedy Jamaludin menyayangkan penegakan hukum bersifat adhoc; sekali-sekali atau kadang-kadang tergantung desakan masyarakat. Padahal, KUHP memiliki pasal yang menyangkut kesusilaan untuk menjaring semua media itu dan kemudian membuktikannya apakah ada unsur pelanggarannya.

Namun, bila unsur jurnalisme pada Playboy diakui sehingga kebebasannya bisa dlindungi UU Pokok Pers, maka aturan pendistribusian yang diterapkan di luar negeri bisa dicontoh. Deddy Mulyana mengatakan itu sebagai jalan minimal. "Ya, jangan dijajakan, diatur penjualannya. Kalau di TV, kan, ditayangkan pukul 11 malam," ujarnya.

Ketegasan pengaturan inilah yang dibutuhkan. Pembatasan penjualan sesuai segmen yang ditujukan untuk pembaca dewasa harus dijalankan berdasarkan aturan. Harus ada tindakan tegas terhadap semua pelanggaran. Tujuannya supaya orang tua pun tidak terampas kebebasannya untuk mendidik anak sesuai nilai yang ingi mereka tanamkan. (Vebertina Manihuruk/"PR")***

Pikiran Rakyat - 17 April 2006